BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak. Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negri ini.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang pembangunan pertanian yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari tahu apa saja pembangunan pertanian yang terjadi di negri ini sejak Indonesi mulai meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga Indonesia mulai mencoba untuk bangkit membangun kemajuan negri ini di era reformasi saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan-Kebijakan Pertanian pada masa Penjajahan
A. Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertea dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no.22. Jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau Jawa,bernunyi sebagai berikut : Persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangannya yang dapat dijual dipasaran Eropa Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah Tanaman dagangan yang dihasilkan ditanah yang disediakan ,wajib diserahkan kepada pemerintahan
Hindia Belanda Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak dissebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat. Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,sedangkan pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah ,panen ,dan pengangkutan tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
2.2 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Lama
Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5 tahun kerja rodi.
Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan formula untuk menyelamatkan pertanian. Program yang dibuat antara lain:
A. Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah :
Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan.
Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun
B. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sayangnya pemerintahan Orde Lama tidak berlangsung lama, kebijakan distribusi tanah secara adil menurut UU Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan landreform kandas di jaman Orde Baru. Maka, Agrarische Wet yang menjadi dasar bagi Hak Guna Usaha (HGU) para pemodal dan partikelir untuk memeras tanah dan petani kecil terus berlangsung.
2.3 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Baru
A. Revolusi Hijau
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara:
1. Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
Pemilihan Bibit Unggul
Pengolahan Tanah yang baik
Pemupukan
Irigasi
Pemberantasan Hama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan
pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat
ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi.
Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.
Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.
Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.
Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).
B. Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
Perbaikan jalan raya.
Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
Semakin majunya sektor pendidikan.
Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll
Pelita IV(1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain.
Swasembada Pangan
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
2.4 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Reformasi
Pada era reformasi, paradigma pembangunan pertanian meletakkan petani sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian/pedesaan. Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan pada paradigma tersebut maka visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian modern, tangguh dan efisien. Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini akan dapat dicapai melalui pembangunan pertanian dengan strategi
Optimasi pemanfaatan sumber daya domestik (lahan, air, plasma nutfah, tenaga kerja, modal dan teknologi)
Perluasan spektrum pembangunan pertanian melalui diversifikasi teknologi, sumber daya, produksi dan konsumsi
Penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi secara dinamis, dan
Peningkatan efisiensi sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi pertanian dengan kandungan IPTEK dan berdaya saing tinggi, sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat secara berimbang.
Salah satu langkah operasional strategis yang dilakukan dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas adalah Gerakan Mandiri (Gema) yang merupakan konsep langkah-langkah operasional pembangunan pertanian, dengan sasaran untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian petani dalam melaksanakan usaha taninya. Mulai TA 1998/1999 telah diluncurkan berbagai Gema Mandiri termasuk Gema Hortina untuk peningkatan produksi hortikultura.
Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika Nusantara menuju ketahanan hortikultura (Gema Hortina), dilaksanakan untuk mendorong laju peningkatan produksi hortikultura. Melalui gerakan ini komoditas hortikultura yang dikembangkan adalah sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat unggulan.
Komoditas yang diutamakan adalah yang bernilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar besar dan mempunyai potensi produksi tinggi serta mempunyai peluang pengembangan teknologi. Adapun upaya yang dilaksanakan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya hortikultura unggulan tersebut meliputi penumbuhan sentra agribisnis hortikultura dan pemantapan sentra hortikultura yang sudah ada.
Komoditas unggulan yang mendapat prioritas adalah :
Sayuran : kentang, cabe merah, kubis, bawang merah, tomat dan jamur
Buah-buahan : pisang, mangga, jeruk, nenas dan manggis
Tanaman hias : anggrek
Tanaman obat : jahe dan kunyit.
Pada tahun 2000 pemerintah mengurangi dan menghapus bea masuk import beras yang berdampak pada masuknya beras Vietnam, Thailand, Philipine, dan Cina. Sejak itu pula, perjuangan petani Indonesia makin berada pada posisi yang sangat lemah dengan tingkat kesejahteraan/nilai tukar petani yang sangat lemah.
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian dari Masa ke Masa
Sistem pertanian dari masa ke masa yang dibangun oleh berbagai generasi tentunya akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi begitupun tentunya juga memiliki kekurangan yang timbul akibat kebijakan-kenijakan tersebut. Berikut akan dibahas beberapa hal yang menjadi kelebihan maupun kekurangan pembangunan sistem pertanian pada masa Orde Baru dan Masa Reformasi.
1. Kelebihan
a. Orde Baru
Terciptanya kestabilan ekonomi Indonesia dengan adanya PELITA
Berkembangnya kemampuan petani dalam hal pengolahan lahan maupun produksi bahan pangan menjadi lebih modern
Terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian yang menjadikan Indonesia berhasil bangkit dari masalah kebutuhan pangan dengan menciptakan swasembada pangan
Terciptanya kualitas sumber daya manusia yang lebih kompeten dan menghasilkan
b. Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
Meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid
Semua pihak memiliki dan berkewajiban mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya
Proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan
2. Kekurangan
a. Orde Baru
Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman yang lebih modern
Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertaniankepada para petani
Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih mengutamakan kemajuan dalam produksi tanaman pangan
b. Reformasi
Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu sulit dan merepotkan
Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami penduan yang tidak pasti dalam sistem pembagian air
3. Solusi
Permasalahan yang timbul pada sistem pembangunan pertanian tersebut sebenarnya menjadi pemicu bagi para ahli di bidang pertanian untuk memecahkan bagaimana mencari solusi dari masalah tersebut.
Beberapa masalah yang tecipta dari masa Orde Baru maupun Reformasi sebenarnya memerlukan pemecahan yang cukup sederhana dan dapat dipahami dengan mudah oleh para petani agar dapat melakukan prodes produksi bahan pangan maupun hasi hortikultura yang dapat meningkatkan kemajun pertanian Indonesia.
Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk meningkatkan produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi SRI yang mampu menghasilkan padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang sedikit. Hanya saja dalam penanaman padi SRI ini juga mengalami hambatan dengan kurangnya buruh tani yang bekerja untuk mengembangkan sistem padi ini diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki pekerjaan lain dan menjadikan kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya pengembangan padi SRI menjadi solusi tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani, hanya saja hal itu harus sejalan dengan kegiatan petani yang lebih fokus pada produktifitas tanaman-tanaman pangan.
Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan petani akibat ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya menjadi perhatian yang lebih bagi penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan penyuluhan untuk menambah pengetahuan para petani yang tidak hanya terfokus tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi juga pada masalah pembibitan, pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis yang tepat bagi tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang PELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan menuju swasembda pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan produktifitas subsektor tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura. Seharusnya peningkatan produktifitas dari tanman pangan juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti tanaman hortikultura.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan melakukan beberapa kebijakan seperti PELITA dan Revolusi Hijau untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan.
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.
0 komentar:
Posting Komentar