Kepentingan rakyat diperhatikan, karena hal itu sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial, tujuan utamanya tetap mendapatkan barang-barang untuk ekspor. Kepastian hukum dan kebebasan orang dan benda; sedangkan labanya harus terdiri dari ekspor yang diselenggarakan (diorganisir) oleh partikelir.
Tapi, dilihat dari hasilnya, sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Tujuannya untuk menimbulkan kemakmuran rakyat dan memajukan ekspor tidak terwujud. Oleh karenanya pasca kepemimpinan Raffles di Hindia Belanda, Gubernur Jendral Van Der Capellen berusaha melindungi tanah-tanah milik rakyat dari tangan-tangan orang eropa. Baginya penyerahan tanah kepada orang-orang Eropa berarti penyerahan daerah dengan penduduknya, sebagaimana tanah partikelir. Menurutnya campur tangan orang-orang eropa dalam pertanian kecuali bagi gula dan nila yang tidak penting itu hanyalah “een vijfde rad aan de wagen“ (tak berguna dan merintangi atau memusnahkan) atau merupakan parasiet plant (tumbuhan benalu) yang akan merintangi penduduk dan pertumbuhannya.
Ketika Van Den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, negeri itu sedang mengalami kesulitan keuangan, baik karena peperangan dalam rangka meluaskan jajahannya di Indonesia maupu peperangan dengan Belgia. Hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi Van Den Bosch untuk menerapkan kebijakan tanam paksa / culturstelsel (1830-1870) di Hindia Belanda.
Dengan adanya kebijakan culturstelsel ini maka rakyat juga harus menanam tanaman-tanaman ekspor diatas tanah pertanian, sebagai upah atas penanaman itu tidaklah diberikan uang tetapi pembebasan dari kewajiban membayar pajak tanah yang sangat berat itu. Menurut Van Den Bosch pajak ”in natura” ini lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa daripada pajak dalam bentuk uang yang menyebabkan rakyat terpaksa menjual barang-barang hasilnya sehingga mudah disesatkan atau tertipu. Karena culturstelsel sangat sesuai sekali dengan perkembangan pergaulan hidup Jawa pada waktu itu, maka tujuan stelsel itu yang semata-mata untuk mempertinggi produksi ekspor, tercapai seluruhnya, walaupun dalam permulaannya menghadapi kesulitan-kesulitan.
Suatu bahaya kelaparan di Jawa Tengah pada tahun 1849-1850 membuka mata umum di negeri Belanda tentang keadaan-keadaan di Jawa, yang mana bencana tersebut disebabakan oleh tanam paksa. Akibatnya, hal diatas mendatangkan kecaman yang keras dari golongan liberal terhadap golongan konservatif di Parlemen Belanda. Kecaman itu disertai bukti-bukti bahwa terjadi proses kemiskinan didaerah jajahan.
Hal ini berarti pula berubahnya politik kolonial yang dijalankan antara 1850 dan 1860 ; tekanan penanaman paksa diperingan, dan stelsel tanam paksa diserang dengan hebat. Aliran baru menuntut kebebasan pengusaha-pengusaha partikelir untuk mengusahakan pertanian ekspor, dan untuk hal itu menuntut pula dihapuskannya stelsel tanam paksa. .
c). Masa Pendudukan Jepang 1942-1945
Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Belanda takluk kepada Heitesan Dai Nippon Tei Koku (serdadu kerajaan Jepang Raya), Tanah Jawa berada dibawah pendudukan Rikugun (Angkatan Darat Jepang). Tujuan penyerbuan Jepang di Indonesia adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi. Politik agraria pada zaman penguasaan Jepang dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang dalam menghadapi Sekutu. Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi “perang“ Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru, perluasan areal pertanian dan penanaman komoditas baru seperti kapas, yute-rosela dan rami.
Masa pendudukan Jepang ditandai oleh mobilisasi penduduk penduduk pedesaan melalui organisasi-organisasi “fasis“, yang bertujuan untuk mobilisasi dan kontrol. Kebijakan mobilisasi ini selalu dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah pendudukan Jepang. Seluruh kegiatan ekonomi-produksi, sirkulasi dan distribusi, secara ketat dikontrol melaui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah.
Akibatnya adalah sebuah bentuk eksploitasi secara besar-besaran, yang tentunya menghasilkan sebuah penderitaan yang begitu mendalam oleh petani, seperti kesaksian Sidik Kertapati (1965):
“...dibawah kekuasaan fasisme ini kaum tani sangat menderita. Mereka dipaksa menyetor sebagian besar hasil panen padi dan ternaknya kepada Jepang dengan harga yang sangat rendah. Lembu dan kambing “dikintal”, artinya dibayar dengan jauh dibawah harga. Sering terjadi setoran paksa ini tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan pembagian celana bagor, atau bahkan dibayar dengan makian “genzjumin bagero” (orang pribumi yang bodoh)! Yang sangat menghina, tapi disukai oleh bibir orang-orang Jepang. Telor, ayam, kambing, dan segala macam yang hidup dan dapat dimakan, tak terkecuali harus diserahkan kepada Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan perangnya, Jepang melalui aparat pangreh praja (sekarang pamong praja) mengerahkan rakyat untuk mencari Iles-iles di hutan-hutan dan menanam Jarak, kemudian disetorkan ke Jepang. Mereka yang tidak memiliki sawah atau ladang diharuskan menanam di pekarangan rumahnya masing-masing. Barangsiapa yang berani menentang dan dianggap “melanggar” perintah bisa ditangkap Kempeitai (Polisi Militer Jepang) yang sewaktu-waktu siap menjadi algojo...”.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berakhir seiring dengan dijatuhkannya bom atom di kota Nagasaki dan Hirosima oleh pasukan Sekutu (Allied Forces) pada tahun 1945, yang kemudian menyebabkan kerajaan Jepang menyerah tanpa syarat oleh pasukan sekutu.
2.2 Kebijakan - Kebijakan Pembangunan Pertanian Pada Masa Pasca Kemerdekaan (Pemerintahan Soekarno, 1945 - 1966 )
Setelah Proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah negara Indonesia dihadapkan pada persoalan masih kentalnya struktur warisan kolonial, seperti masih beroperasinya perusahaan-perusahaan asing multinasional raksasa di bidang perkebunan dan pertambangan serta hancurnya tatanan mode produksi masyarakat Indonesia.
Pemerintah justru lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947; dan baru terealisir pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Namun, karena keterbatasan dana, sistem penyuluhan tersebut tidak dapat berjalan, yang berakibat pada kecilnya kenaikan produksi padi. Hal tersebut kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor beras, dari 334.000 ton ditahun 1950 menjadi 800.000 ton ditahun 1959.
Selanjutnya dimulailah Rencana Tiga Tahun Produksi Padi tahun 1959-1961 dengan target mencapai swasembada pangan pada tahun 1961. Untuk itu kemudian dibentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung diketuai oleh presiden Soekarno. Untuk memperbaiki sarana pertanian, dibentuklah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Ditingkat desa, dibentuk Pamong Tani Desa (PTD) yang bertugas membantu kepala desa mencapai swasembada beras. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan ini memiliki dua anak perusahaan yakni, padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan; sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis terutama diluar pulau Jawa.
Sejak tahun 1960-an mulai diadakan inisiatif perubahan dari “bawah”, khususnya lewat keaktifan dari kaum tani kecil dan buruh tani. Di tahun itu, dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur program pembaruan agraria, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mo. 5 tahun 1960 yang mengatur tentang landreform, Undang-Undang no. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) no. 2 tahun 1960 yang mengatur sistem bagi hasil.
Dengan ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang menyangkut hukum agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu adalah Agrarische Wet (S. 1870-55), Domein-verklaring, Algemene Domeinverlklaring, Koninklij Besluit serta buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya mengenai bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan Hypotheek.
Pada tahun 1963/1964 dicetuskanlah Swa Sembada Bahan Makan (SSBM) dengan memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, yang kemudian berwujud dalam penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi juga sebagai pusat bimbingan untuk Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA), yang kemudian dikenal dengan nama DEMAS (Demonstrasi Massal). Program ini dianggap berhasil karena hasilnya sangat baik, sehingga arealnya diperluas 15 kali lipat pada bulan Juli 1965. Pada tanggal 10 Agustus 1965 nama DEMAS diganti dengan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan luas areal 150.000 hektar di Jawa dan diluar Jawa.
Namun September 1965 terjadi huru-hara G30S PKI yang menghancurkan seluruh bangunan pertanian nasional yang coba ditata oleh pemerintah Orde Lama. Hal tersebut ditandai dengan konflik politik yang kuat antara militer khususnya Angkatan Darat, dengan gerakan kiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun pada awalnya Soekarno mampu meredam terjadinya konfrontasi secara terbuka dari kedua belak pihak, namun peristiwa G 30 S PKI memicu perubahan konstelasi politik secara drastis. Yang kemudian akibatnya adalah: Pertama, terkonsolidasinya kekuatan anti PKI yang dimotori oleh militer serta partai-parta Islam. Kedua, gelombang demonstrasi terus-menerus, dengan ujung tombaknya pada tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang isinya antara lain: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bubarkan kabinet Dwikora 100 mentri. Ketiga, penghancuran PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Naiknya Soeharto kepucuk pimpinan di Indonesia, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam arah pembangunan pertanian serta agraria di Indonesia. Warisan-warisan kolonial yang sebelumnya coba ditata ulang oleh Orde Lama, dihancur leburkan oleh kebijakan baru Orde Baru yang sangat berorientasi ke barat-baratan serta dikomuniskannya kebjiakan-kebijakan agraria yang pernah digagas oleh Orde Baru Lama. Hal tersebut menandai kebijakan baru dengan orientasi baru atau yang nantinya kemudian dikenal dengan kebijakan Revolusi Hijau pada massa Orde Baru.
2.3 Kebijakan-Kebijakan Pembangunan Pertanian pada masa Orde Baru Sampai Reformasi
Perbedaan Pola Pertanian di Era Orde Baru dan Reformasi Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
Pada pertanian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari tanaman dan hewan. Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertnian yang lebih baik pula. Seperti era orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia juga akan berubah.
Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis. Pada masa orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal ( cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman penghasi bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
Selain itu, juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagi bagian dari teknologi modern pada masa orde baru.
Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkn sehinnga padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut
1. Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru
a. REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja, tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian.
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
b. Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi penemuan ilmiahberupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang membuat hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat
Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.
c. Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
d. BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal (BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI).
2. Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
a. SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan pdi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya “More Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan ( yang identik dengan perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendaptan petani.
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi.
Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.
b. Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut :
Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan melakukan beberapa kebijakan seperti REPELITA, Revolusi Hijau, BIMAS, INMAS, INSUS, dan Panca Usaha Pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.