Sabtu, 04 April 2015

Makalah Sistem Pertanian Terpadu Antara Pertanian dengan Peternakan)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
         Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
        Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan factor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan
      Petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tamanannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak (Ismail dan Djajanegara, 2004). Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacangan, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3% dari total rumput yang diberikan (Kariyasa, 2003). Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatkan ketahanan pakan khususnya pada musim kering juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pertanian Peternakan
        Hubungan antara pertanian dengan peternakan dalam sistem pertanian terpadu sangat beraneka ragam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Salah satu manfaat dari mempelajari sistem pertanian terpadu adalah bisa mengetahui hubungan saling ketergantungan antara pertanian dengan peternakan. Selain itu dapat pula diketahui berbagai keuntungan yang bisa diambil saat mempelajari hubungan antara sistem pertanian dengan peternakan.
        Keuntungan yang bisa diambil dari peternakan bagi pertanian adalah pemanfaatan tenaga hewan ternak untuk kepentingan pertanian. Contoh manfaat yang bisa diambil dari peternakan adalah kotoran hewan ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang bagi tanaman. Tenaga hewan ternak juga dapat digunakan sebagai tenaga pengolah lahan dan dapat juga dimanfaatkan sebagai tenaga pengangkutan hasil pertanian di mana akan menghemat biaya karena tidak membutuhkan bahan bakar layaknya kendaraan bermotor.
        Sama dengan peternakan, pertanian pun sangat bermanfaat bagi dunia peternakan. Salah satu faktor yang harus terpenuhi dalam peternakan adalah kebutuhan akan pakan ternak Dari pertanian akan dihasilkan bahan-bahan yang dapat diolah menjadi pakan ternak. Pertanian sangat berperan dalam memenuhi keutuhan pakan ternak karenatidak semua hewan ternak dapat diberi pakan dengan bahan makanan yang diambil dari alam. Banyak hewan ternak yang pemenuhan pakannya sangat bergantung pada pertanian. Oleh sebab itu, keberadaan pertanian menjadikan kebutuhan pakan ternak akan mudah terpenuhi.
        Tanaman yang diintegrasikan dengan ternak sapi mampu memanfaatkan produk ikutan dan produk samping tanaman (sisa-sisa hasil tanaman) untuk pakan ternak dan sebaliknya ternak sapi dapat menyediakan bahan baku pupuk organik sebagai sumber hara yang dibutuhkan tanaman. Sejalan dengan program pemerintah dalam peningkatan populasi dan produksi ternak sapi yaitu melalui program-program bantuan pengadaan bibit sapi maka hal ini sangat baik untuk penerapan integrasi ternak sapi dalam usaha tani tanaman. Keuntungan langsung integrasi ternak sapi-tanaman pangan adalah meningkatnya pendapatan petani-peternak dari hasil penjualan sapi dan jagung. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang (Bamualim et al. 2004).

2.2 Contoh Sistem Pertanian Terpadu Antar Pertanian dan Peternakan
Macam-macam intrgrasi tanaman dengan ternak antara lain adalah :

2.2.1 Integrasi Tanaman Padi Dengan Ternak Sapi
        Usaha pemeliharaan ternak sapi dalam suatu kawasan persawahan dapat memanfaatkan secara optimal sumberdaya lokal dan produk samping tanaman padi. Pola pengembangan ini dikenal dengan sistem integrasi padi ternak (SIPT). Program SIPT merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Hayanto B, et.al., 2002). Pelaksanaan SIPT dilaksanakan melalui penerapan teknologi pengolahan hasil samping tanaman padi seperti jerami padi dan hasil ikutan berupa dedak padi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sapi sebagai pakan sapi. Sedangkan kotoran ternak sapi dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pupuk organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah di areal persawahan. Produk samping tanaman padi berupa jerami mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang ketersediaan pakan ternak. Produksi jerami padi dapat tersedia dalam jumlah yang cukup besar rata-rata 4 ton/ha dan setelah melewati proses fermentasi dapat menyediakan bahan pakan untuk sapi sebanyak 2 ekor/tahun. Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal agar disukai ternak maka sebelum diberikan pada ternak dilakukan pencacahan, fermentasi ataupun amoniasi. Jerami padi yang telah difermentasi siap untuk digunakan sebagai bahan dasar untuk pakan sapi namun dapat ditambahkan dengan bahan pakan lainnya secara bersama-sama seperti hijauan legum (lamtoro, kaliandra, turi) yang dibudidayakan di areal pematang atau pagar kebun. Pemberian jerami disesuaikan dengan ukuran tubuh sapi. Sapi dewasa umumnya diberikan sejumlah 20 – 30 kg jerami per hari dan dipercikkan air garam untuk menambah nafsu makan. Penambahan bahan pakan lain seperti dedak padi atau hijauan legum dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan di lokasi. Kotoran sapi berupa feses, urine dan sisa pakan dapat diolah menjadi pupuk organik padat dan cair untuk dimanfaatkan di areal persawahan sedangkan sisanya dapat dijual untuk menambah pendapatan petani. Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8 – 10 kg setiap hari, urine 7 – 8 liter setiap hari dan bila diproses menjadi pupuk organik (padat dan cair) dapat menghasilkan 4 – 5 kg pupuk. Dengan demikian satu ekor sapi dapat menghasilkan sekitar 7,3 – 11 ton pupuk organik per tahun, sementara penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan adalah 2 ton/ha untuk setiap kali tanam sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 – 2,7 hektar dengan dua kali tanam dalam setahun.

2.2.2 Integrasi Tanaman Jagung Dengan Ternak Sapi
        Tanaman jagung setelah produk utamanya dipanen hasil ikutan tanaman jagung berupa daun, batang dan tongkol sebelum atau sesudah melalui proses pengolahan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan ternak alternatif. Jumlah produk ikutan jagung dapat diperoleh dari satuan luas tanaman jagung antara 2,5 – 3,4 ton bahan kering per hektar yang mampu menyediakan bahan baku sumber serat/pengganti hijauan untuk 1 satuan ternak (bobot hidup setara 250 kg dengan konsumsi pakan kering 3 % bobot hidup) dalam setahun. Produk ikutan tanaman jagung sebelum digunakan sebagai bahan baku pakan dapat diolah menjadi silase baik dengan atau tanpa proses fermentasi dan amoniasi. Pemberian dalam bentuk segar atau sudah diolah disarankan sebaiknya dipotong-potong atau dicacah terlebih dahulu agar lebih memudahkan ternak dalam mengkonsumsi. Agar ternak lebih menyukai dapat ditambahkan molases atau air garam. Kotoran ternak yang telah diproses dapat dipergunakan sebagai sumber energi (biogas) dan pupuk organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki struktur tanah pada lahan tanaman jagung.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
        Sistem integrasi tanaman-ternak. Sistem ini memberikan keuntungan kepada petani dan peternak antaralain :
1) pupuk kompos dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai sumber pendapatan
2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak memiliki ternak sapi,
3) limbah jagung bermanfaat sebagai pakan sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan. Pengembangan usaha ternak sapi dapat dilakukan dengan memberdayakan sumber daya lokal.

         Pengembangan pola integrasi ternak tanaman-ternak memerlukan kerja sama antara petani, peternak dan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mendorong pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dapat berupa strategi agresif dan diversifikatif. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan modal, penyuluhan, pelatihan, dan introduksi tanaman hijauan pakan unggul yang dapat ditanam di antara pohon kelapa maupun lahan terbuka. Pengembangan integrasi tanaman dan ternak dapat dilakukan melalui pendekatan kelompok. Cara ini dapat memudahkan pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pelatihan selain mengintensifkan komunikasi di antara anggota kelompok maupun antara anggota kelompok dan pemerintah.

Sistem Pertanian di Indonesia Pada Masa Lalu, Saat Ini dan Masa Depan

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
        Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan.
        Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara tetangga menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut. Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara saat ini hanya 38%; suatu perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode 15 tahun. Sebaliknya, penanaman padi dari total panen di Malaysia berkurang setengahnya dari 25% di tahun 1972 menjadi 13% di 1998. Selain itu seperti tercatat dalam hasil studi baru-baru ini, ranting pemilik usaha kecil/ pertanian industrial, hortikultura, perikanan, dan peternakan, yang sekarang ini berkisar 54% dari semua hasil produksi pertanian, kemungkinan besar akan berkembang menjadi 80% dari pertumbuhan hasil agraris di masa yang akan datang. Panen beras tetap memegang peranan penting dengan nilai sekitar 29% dari nilai panen agraris. Tetapi meskipun disertai dengan tingkat pertumbuhan hasil yang tinggi, panen beras tidak akan dapat mencapai lebih dari 10% nilai peningkatan pertumbuhan hasil.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pertanian Pada Masa Lalu, Saat Ini dan Masa Depan
        Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
        Pada pertnian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari tanaman dan hewan.
        Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertnian yang lebih baik pula. Seperti era orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia juga akan berubah.
        Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis.
        Pada masa orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal ( cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman penghasi bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
Selain itu, juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagi bagian dari teknologi modern pada masa orde baru.
        Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkn sehinnga padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
    Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
        Pembangunan pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik. Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan: (a) skala kecil, (b) modal yang terbatas, (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi oleh musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani. Selain itu, masih ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pertanian di Indonesia seperti pembaruan agraria (konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian) yang semakin tidak terkendali lagi, kurangnya penyediaan benih bermutu bagi petani, kelangkaan pupuk pada saat musim tanam datang.
swasembada beras yang tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Petani, menuntut pemerintah untuk dapat lebih serius lagi dalam upaya penyelesaian masalah pertanian di Indonesia demi terwujudnya pembangunan pertanian Indonesia yang lebih maju demi tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

        Pertanian masa depan adalah pertanian berkelanjutan, berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang, dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada, bermanfaat bagi dan tidak menimbulkan masalah bagi semuanya. Pertanian ini meliputi komponen fisik, biologis, dan social ekonomi yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan:
1.    Pengurangan input bahan-bahan kimia di bandingkan pada sistem pertanian tradisional.
2.    Pengendalian erosi tanah dengan baik.
3.    Pengendalian gulma.
4.    Memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on farm) dan bahan-bahan input maksimum.
5.    Pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman.
6.    Penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.
7.    Mantab secara ekologis
8.    Dapat berlanjut secara ekonomis
9.    Adil
10.    Manusiawi
11.    Luwes
      
        Pertanian masa depan yang mempertahankan keberlangsungannya, keberlanjutannya dapat dilakukan dengan mengadakan pertanian organik, dan atau pertanian agroforestry. Pertanian organik yaitu pertanian yang ramah lingkungan, dengan hasil yang bersifat ramah lingkungan dan sehat serta bernilai gizi tinggi. Menghormati seluruh kehidupan adalah prinsip yang menakjubkan dari pertanian organik. Pertanian agroforetry adalah pertanian berdasarkan fungsi hutan, yaitu menyerap dan menyimpan air ketika musim hujan dan mengeluarkan cadangan air dalam tanah tersebut melalui mata air. Didalamnya dikembangkan kombinasi produksi tanaman budidaya, tanaman hutan, dan hewan-hewan pada lahan yang sama.
        Tuntutan konsumen pun semakin menjadi tolok ukur keberhasilan pertanian. Karena perubahan tuntutan konsumen yang terus menerus ini akan mengakibatkan menjamurnya pasar-pasar modern seperti hypermart, supermarket, dan lainnya yang berkemang pesat dan mempengaruhi keseimbangan dimana kekuatan produsen/petani bergeser menjadi perusahaan multinasional.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
        Keterbatasan sumberdaya pertanian menuntut dikembangkan suatu sistem pertanain yang dapat memadukan berbagai usahatani dalam suatu kesatuan untuk meningkatan produkivitas pertanian dan pendapatan petani.  Usaha tanaman pangan, peternakan, dan perikanan dapat dipadukan dan diintegrasikan pada lahan yang sempit. Memodifikasi sistem pertanaman, penggunan dan pengolahan produk sampingan, meminimalkan kehilangan hara, dan menghindari penggunaan input dari luar yang berlebihan limbah ternak yang lebih adalah langkah-langkah untuk menciptakan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan dan berdaya saing.
        Sekarang dan masa yang akan datang, kita membutuhkan suatu sistem usaha tani yang ramah lingkungan dan layak secara ekonomi.  makanya diperlukan penelitian terintegrasi lintas sektoran dengan melibatkan berbagai bidang ilmu pada setiap ekosistem yang berbeda, disertai dengan pengembangan titik percontohan desiminasi hasil penelitan dan teknologi tepat guna.

Makalah Sistem Pertanian di Indonesia dari Masa lalu Hingga Sekarang

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang

    Sistem pertanian merupakan pengelolaan komoditas tanaman untuk memperoleh hasil yang diinginkan yaitu berupa bahan pangan, keuntungan financial, kepuasan batin atau gabungan dari ketiganya. Sistem pertanian di daerah tropika, termasuk Indonesia berbeda dengan daerah subtropis dan daerah beriklim sedang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi iklim, jenis tanaman dan keadaan sosial ekonomi petaninya.
    Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah suatu tugas yang kompleks, kerena banyaknya kondisi yang berbeda yang harus dibina atau diubah oleh orang ataupun kelompok yang berbeda pula. Seperti halnya permasalahan pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengimbangi permintaan atas kebutuhan pangan meningkat pesat, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan produksi hasil pertanian yang mampu untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan bahan pangan. Namun hal itu juga mendorong para petani untuk mencoba menanam jenis-jenis tanaman baru, dan dengan bantuan para insinyur dan para peneliti untuk mengembangkan varietas tanaman tersebut dengan menemukan teknik penggunaan pupuk, mengatur kelembapan tanah yang lebih maju serta menggunakan teknologi pertanian yang lebih maju untuk mengembangkan pembangunan pertanian ke arah yang lebih baik sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari jumlah masyarakat yang terus meningkat.
    Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak. Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.


BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pertanian di Indonesia masa lalu
    Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
    Pada pertanian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari tanaman dan hewan.
    Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertanian yang lebih baik pula. Seperti era orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia juga akan berubah.
    Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis. Pada masa orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal (cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman penghasil bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
    Selain itu juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
    Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagian bagian dari teknologi modern pada masa orde baru.
   
2.2 Pertanian di Indonesia masa kini
    Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkan sehinnga padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
    Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
    Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut.

2.3 Pertanian di Indonesia masa depan
    Pertanian masa depan adalah pertanian berkelanjutan, berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang, dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada, bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah bagi semuanya. Pertanian ini meliputi komponen fisik, biologis, dan social ekonomi yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan:
1.    Pengurangan input bahan-bahan kimia di bandingkan pada sistem pertanian tradisional
2.    Pengendalian erosi tanah dengan baik
3.    Pengendalian gulma
4.    Memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on farm) dan bahan-bahan input maksimum
5.    Pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman
6.    Penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian
7.    Dapat berlanjut secara ekonomis
8.    Manusiawi
   
    Pertanian masa depan yang mempertahankan keberlangsungannya, keberlanjutannya dapat dilakukan dengan mengadakan pertanian organik, dan atau pertanian agroforestry. Pertanian organik yaitu pertanian yang ramah lingkungan, dengan hasil yang bersifat ramah lingkungan dan sehat serta bernilai gizi tinggi. Menghormati seluruh kehidupan adalah prinsip yang menakjubkan dari pertanian organik. Pertanian agroforetry adalah pertanian berdasarkan fungsi hutan, yaitu menyerap dan menyimpan air ketika musim hujan dan mengeluarkan cadangan air dalam tanah tersebut melalui mata air. Didalamnya dikembangkan kombinasi produksi tanaman budidaya, tanaman hutan, dan hewan-hewan pada lahan yang sama.
    Tuntutan konsumen pun semakin menjadi tolok ukur keberhasilan pertanian. Karena perubahan tuntutan konsumen yang terus menerus ini akan mengakibatkan menjamurnya pasar-pasar modern seperti hypermart, supermarket, dan lainnya yang berkemang pesat dan mempengaruhi keseimbangan dimana kekuatan produsen/petani bergeser menjadi perusahaan multinasional.
Maka untuk mempertahankan eksistensi petani dan pertanian dilakukan cara:
1.    Pengembangan SDM
2.    Penyempurnaan kelembagaan petani
3.    Peningkatan produktifitas dan efisiensi
4.    Peningkatan nilai tambah produksi
5.    Usaha kemandirian pangan
6.    Pengelolaan lingkungan hidup yang produktif
7.    Penyempurnaan sistem pemasaran produk pertanian
8.    Kebijakan makro yang mendukung pertanian
Dalam usahanya untuk menuju pertanian masa depan, menjaga agar pertanian tetap berlangsung hingga anak cucu kita nanti, maka haruslah teliti, memperhatikan setiap kegiatan pertanian. Untuk menyambut pertanian masa depan, pola pertanian yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:
1.    Pertanian konvensional: mengandalkan input luar (pupuk, pestisida).
2.    Pertanian konservasi: tuntutan terhadap pangan bebas pestisida & kimia.
3.    Pertanian teknologi tinggi : produk mutu tinggi, dan kandungan zat dapat diatur sesuai kebutuhan.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
    Pertanian sebagaimana bidang yang lain akan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pertanian berkembang dengan cepat saat terjadinya revolusi hijau dan meruntuhkan teori kependudukan dari Malthus. Penggunaan teknologi maju di masa yang akan datang akan semakin berkembang bahkan melebihi yang terjadi saat ini. Bahkan suatu saat dimungkinkan bahwa para petani tidak akan perlu lagi turun ke lahan pertanian, karena saat itu lahan pertanian telah dikelola oleh robot-robot dan mesin-mesin mekanis yang dijalankan secara otomatis. Dan para petani akan benar-benar menjadi tuan tanah dengan para pekerja robot-robot yang dengan mudah dikendalikannya.

Makalah Koperasi Serba Usaha (KSU) Al-Hidayah


KATA PENGANTAR


        Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari tentang perkembangan koperasi di indonesia.
       Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
        Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



Gorontalo,   Maret 2015



Penyusun            


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
        Menurut Swasono (2005), secara harfiah kata “Koperasi” berasal dari kata Cooperation”  (Latin) atau “Cooperation”  (Inggris), atau Co-operate  (Belanda), atau dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai bekerja sama. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992, Pasal 1, menyatakan bahwa “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
        Menurut pernyataan ICA (International Co-operate Alliance, 2002) tentang jati diri koperasi mengemukakan, Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya besama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.

1.2    Rumusan Masalah
- Bagaimana partisipasi dan keterlibatan anggota koperasi dalam mengsukseskan suatu koperasi ?

1.3    Tujuan
- Untuk dapat memahami bagaimana peran dan partisipasi anggota koperasi dalam mengsukseskan suatu koperasi.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Koperasi Serba Usaha (KSU) Al-Hidayah
        Pasar Ritel dan Pasar Buah Jakabaring – Palembang, yang dikelola koperasi merupakan satu contoh sukses pengembangan pasar tradisional yang keberadaannya mulai terancam oleh pasar modern. Keberadaan kedua pasar tersebut (Pasar Tradisional Berkonsep Modern) telah membantu koperasi lokal untuk hidup secara mandiri dalam menjalankan usahanya, tanpa bergantung pada modal pemerintah. Sebelumnya, bidang usaha koperasi tersebut hanya melayani simpan pinjam untuk para anggotanya terutama pedagang buah, namun Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) mulai merambah mengelola pasar buah dan memberikan cicilan murah, koperasi tersebut juga membantu untuk mendapat pinjaman dana dari perbankan.
     Meski aktivitas Pasar Buah dan Ritel Jakabaring mulai dipenuhi pengunjung pada pukul 19.00 hingga subuh, kedua pasar yang terletak di kawasan Jakabaring, Palembang tersebut sangat berarti bagi Pemerintah Kota Palembang karena dapat menggerakkan perekonomian rakyat. Bahkan, keberadaan kedua pasar tersebut juga telah membantu koperasi lokal untuk hidup secara mandiri dalam menjalankan usahanya, tanpa bergantung pada modal pemerintah. “Kami senang bisa menempati kios di Pasar Ritel Jakabaring ini, meski sebelumnya merasa khawatir, tidak akan ada pembeli yang datang ke pasar ini.” kata Risman, pedagang cabai yang telah menempati kiosnya selama satu tahun ini. Risman menjelaskan, sebelum pindah di Pasar Jakabaring, dirinya adalah pedagang sayur yang menempati lapak di Pasar 16 Ulu yang kotor dan tidak nyaman.

        Trisno, Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Al-Hidayah selaku koordinator sekaligus Pengelola Pasar Buah mengungkapkan, sebelum dipercaya mengelola pasar buah tersebut, KSU yang didirikan pada 1997 sempat tidak aktif, namun setelah memasuki masa pergantian pengurus baru pada 2006-2007, koperasi tersebut mulai berjalan. Sebelumnya, bidang usaha koperasi tersebut hanya melayani simpan pinjam untuk para anggotanya terutama pedagang buah, namun Al-Hidayah mulai merambah mengelola pasar buah.
Dia menjelaskan, selama ini koperasi tersebut telah memiliki karyawan sekitar 50 orang dan anggota 300 pedagang buah, dari jumlah itu, 120 anggotanya telah menempati kios di Pasar Buah. “Selain memberikan cicilan murah, kami juga membantu untuk mendapat pinjaman dana dari perbankan,” ulasnya.
Dia berharap pada tahun pertama, pendapatan dari mengelola pasar bisa tercapai target mencapai Rp 3 miliar, sehingga dengan dana tersebut dapat digulirkan kembali untuk menelurkan pasar baru, seperti rencana Pemkot untuk membangun pasar besi tua di kawasan Jakabaring ini.
        Habiskan Rp 16,5 Miliar Kepala Dinas Perindustian dan Koperasi Pemkot Palembang, H R Wantjik Badaruddin mengemukakan, Pasar Buah Jakabaring, Palembang dibangun pada September 2007 di atas sekitar 1,8 hektare dan diresmikan Oleh Menteri Koperasi dan UKM Surya Darma Ali pada Maret 2009. Pasar tersebut dibangun dengan dana Rp 16,5 miliar, terdiri dari 320 unit. Masing-masing, 120 unit kios berukuran 3,6 x 3,6 meter persegi dan kios berukuran 3 x 4 meter persegi, 100 kios dan sisanya hamparan yang dilengkapi fasilitas umum dan sosial.
        Wantjik mengungkapkan, pasar buah merupakan salah satu contoh keberhasilan program bergulir, pembangunannya dilaksanakan oleh Koperasi Al-Hidayah dengan total investasi Rp 16,5 miliar. Tradisional Berkonsep Modern kunci sukses program ini, katanya, terletak pada keseriusan Pemkot dan koperasi untuk terus mengembangkan pasar tradisional yang berkonsep modern. “Kami gratiskan mereka selama 6 bulan untuk mencoba menjual dagangannya di Pasar Ritel Jakabaring, sehingga dengan cara itu pedagang kaki lima yang biasanya mangkal di Pasar 16 Ilir akhirnya tertarik pindah ke Pasar Buah dan Ritel,” paparnya.

2.2 Partisipasi Anggota Koperasi
Partisipasi  anggota  adalah  keterlibatan  anggota  dalam  kegiatan  koperasi  yang
dapat berbentuk:  
1.  melakukan transaksi dengan koperasi  (membeli barang/jasa dari koperasi).
2.  ikut serta dalam pengambilan keputusan (hadir dalam RAT).
3.  ikut serta dalam pemupukan modal (simpanan pokok, wajib dan sukarela)
4.  ikut serta dalam pengawasan; dan 
5.  ikut serta dalam menanggulangi risiko.

2.3 Identifikasi kunci kesuksesan Koperasi Al- Hidayah :
    Organisasi permodalan yang cukup
    Komitmen anggota dan kepengurusan yang kuat
Ada usaha didalamnya
    Memantapkan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat dalam tatanan perekonomian yang demokratis dan berkeadilan.
    Mampu melengkapi kebutuhan para anggotanya,
    Memberikan keuntungan bagi para anggotanya.
    Mempunyai perencaan yang matang.
    Partisipasi Anggota yang aktif.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Kesuksesan atau kegagalan koperasi terletak pada partisipasi anggota. Jika partisipasi anggotanya aktif maka koperasi akan maju, begitupun sebaliknya. Jika partisipasi anggota sudah terpenuhi, maka faktor keberhasilan lainnya akan berjalan dengan sendiri. Partisipasi disini, bukan hanya sekedar menjadi anggota. Akan tetapi, maksudnya adalah anggota sadar dengan perannya sebagai anggota koperasi yang sesuai dengan jati diri koperasi.

Makalah Kebijakan-Kebijakan Pertanian di Indonesia dari zaman Kolonial sampai sekarang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

        Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak. Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negri ini.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang pembangunan pertanian yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari tahu apa saja pembangunan pertanian yang terjadi di negri ini sejak Indonesi mulai meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga Indonesia mulai mencoba untuk bangkit membangun kemajuan negri ini di era reformasi saat ini.

 
BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Kebijakan-Kebijakan Pertanian pada masa Penjajahan

A. Tanam Paksa
        Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
        Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertea dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no.22. Jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau Jawa,bernunyi sebagai berikut : Persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangannya yang dapat dijual dipasaran Eropa Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah Tanaman dagangan yang dihasilkan ditanah yang disediakan ,wajib diserahkan kepada pemerintahan
        Hindia Belanda Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak dissebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat. Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,sedangkan pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah ,panen ,dan pengangkutan tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

2.2 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Lama

        Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5 tahun kerja rodi.
Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan formula untuk menyelamatkan pertanian. Program yang dibuat antara lain:

A. Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah :
    Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
    Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
    Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan.
    Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
    Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun
B. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
    Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
    Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
    Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Sayangnya pemerintahan Orde Lama tidak berlangsung lama, kebijakan distribusi tanah secara adil menurut UU Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan landreform kandas di jaman Orde Baru. Maka, Agrarische Wet yang menjadi dasar bagi Hak Guna Usaha (HGU) para pemodal dan partikelir untuk memeras tanah dan petani kecil terus berlangsung.

2.3 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Baru
A. Revolusi Hijau
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara:
1. Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
    Pemilihan Bibit Unggul
    Pengolahan Tanah yang baik
    Pemupukan
    Irigasi
    Pemberantasan Hama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu  Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan
pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat
ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
 Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
    Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
    Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi.
    Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
    Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.
    Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
    Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.
    Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.
    Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).

B. Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.

Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
    Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
    Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
    Perbaikan jalan raya.
    Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
    Semakin majunya sektor pendidikan.
Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll

Pelita IV(1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain.
    Swasembada Pangan
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.

Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.

Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

2.4 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Reformasi
        Pada era reformasi, paradigma pembangunan pertanian meletakkan petani sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian/pedesaan. Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan pada paradigma tersebut maka visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian modern, tangguh dan efisien. Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini akan dapat dicapai melalui pembangunan pertanian dengan strategi

    Optimasi pemanfaatan sumber daya domestik (lahan, air, plasma nutfah, tenaga kerja, modal dan teknologi)
    Perluasan spektrum pembangunan pertanian melalui diversifikasi teknologi, sumber daya, produksi dan konsumsi
    Penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi secara dinamis, dan
    Peningkatan efisiensi sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi pertanian dengan kandungan IPTEK dan berdaya saing tinggi, sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat secara berimbang.

Salah satu langkah operasional strategis yang dilakukan dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas adalah Gerakan Mandiri (Gema) yang merupakan konsep langkah-langkah operasional pembangunan pertanian, dengan sasaran untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian petani dalam melaksanakan usaha taninya. Mulai TA 1998/1999 telah diluncurkan berbagai Gema Mandiri termasuk Gema Hortina untuk peningkatan produksi hortikultura.
Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika Nusantara menuju ketahanan hortikultura (Gema Hortina), dilaksanakan untuk mendorong laju peningkatan produksi hortikultura. Melalui gerakan ini komoditas hortikultura yang dikembangkan adalah sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat unggulan.
Komoditas yang diutamakan adalah yang bernilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar besar dan mempunyai potensi produksi tinggi serta mempunyai peluang pengembangan teknologi. Adapun upaya yang dilaksanakan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya hortikultura unggulan tersebut meliputi penumbuhan sentra agribisnis hortikultura dan pemantapan sentra hortikultura yang sudah ada.
Komoditas unggulan yang mendapat prioritas adalah :
    Sayuran : kentang, cabe merah, kubis, bawang merah, tomat dan jamur
    Buah-buahan : pisang, mangga, jeruk, nenas dan manggis
    Tanaman hias : anggrek
    Tanaman obat : jahe dan kunyit.
Pada tahun 2000 pemerintah mengurangi dan menghapus bea masuk import beras yang berdampak pada masuknya beras Vietnam, Thailand, Philipine, dan Cina. Sejak itu pula, perjuangan petani Indonesia makin berada pada posisi yang sangat lemah dengan tingkat kesejahteraan/nilai tukar petani yang sangat lemah.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian dari Masa ke Masa
Sistem pertanian dari masa ke masa yang dibangun oleh berbagai generasi tentunya akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi begitupun tentunya juga memiliki kekurangan yang timbul akibat kebijakan-kenijakan tersebut. Berikut akan dibahas beberapa hal yang menjadi kelebihan maupun kekurangan pembangunan sistem pertanian pada masa Orde Baru dan Masa Reformasi.

1. Kelebihan
a. Orde Baru
    Terciptanya kestabilan ekonomi Indonesia dengan adanya PELITA
    Berkembangnya kemampuan petani dalam hal pengolahan lahan maupun produksi bahan pangan menjadi lebih modern
    Terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian yang menjadikan Indonesia berhasil bangkit dari masalah kebutuhan pangan dengan menciptakan swasembada pangan
    Terciptanya kualitas sumber daya manusia yang lebih kompeten dan menghasilkan

b. Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
    SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit
    Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
    Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah
    Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
    Meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid
    Semua pihak memiliki dan berkewajiban mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya
    Proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan


2. Kekurangan
a.       Orde Baru
    Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman yang lebih modern
    Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertaniankepada para petani
    Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih mengutamakan kemajuan dalam produksi tanaman pangan

b.      Reformasi
    Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu sulit dan merepotkan
    Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami penduan yang tidak pasti dalam sistem pembagian air

3. Solusi
        Permasalahan yang timbul pada sistem pembangunan pertanian tersebut sebenarnya menjadi pemicu bagi para ahli di bidang pertanian untuk memecahkan bagaimana mencari solusi dari masalah tersebut.
Beberapa masalah yang tecipta dari masa Orde Baru maupun Reformasi sebenarnya memerlukan pemecahan yang cukup sederhana dan dapat dipahami dengan mudah oleh para petani agar dapat melakukan prodes produksi bahan pangan maupun hasi hortikultura yang dapat meningkatkan kemajun pertanian Indonesia.
        Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk meningkatkan produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi SRI yang mampu menghasilkan padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang sedikit. Hanya saja dalam penanaman padi SRI ini juga mengalami hambatan dengan kurangnya buruh tani yang bekerja untuk mengembangkan sistem padi ini diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki pekerjaan lain dan menjadikan kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya pengembangan padi SRI menjadi solusi tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani, hanya saja hal itu harus sejalan dengan kegiatan petani yang lebih fokus pada produktifitas tanaman-tanaman pangan.
        Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan petani akibat ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya menjadi perhatian yang lebih bagi penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan penyuluhan untuk menambah pengetahuan para petani yang tidak hanya terfokus tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi juga pada masalah pembibitan, pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis yang tepat bagi tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang PELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan menuju swasembda pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan produktifitas subsektor tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura. Seharusnya peningkatan produktifitas dari tanman pangan juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti tanaman hortikultura.

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

        Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan melakukan beberapa kebijakan seperti PELITA dan Revolusi Hijau untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan.
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.

Makalah Kebijakan dan Perencanaan Pembangunan Pertanian di Indonesia dari masa ke masa

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

    Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah suatu tugas yang kompleks, kerena banyaknya kondisi yang berbeda yang harus dibina atau diubah oleh orang ataupun kelompok yang berbeda pula. Seperti halnya permasalahan pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengimbangi permintaan atas kebutuhan pangan meningkat pesat, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan produksi hasil pertanian yang mampu untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan bahan pangan.
    Namun hal itu juga mendorong para petani untuk mencoba menanam jenis-jenis tanman baru, dan dengan bantuan para insinyur dan para peniliti untuk mengembangkan varietas tanaman tersebut dengan menemukan teknik penggunaan pupuk, mengatur kelembapan tanah yang lebih maju serta meggunakan teknologi pertanian yang lebih maju untuk mengembangkan pembangunan pertanian ke arah yang lebih baik sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari jumlah masyrakat yang terus meningkat.
    Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak.
    Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negri ini.
    Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang pembangunan pertanian yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari tahu apa saja pembangunan pertanian yang terjadi di negri ini sejak Indonesi mulai meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga Indonesia mulai mencoba untuk bangkit membangun kemajuan negri ini di era reformasi saat ini.

1.2 Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:
  • Apa perbedaan pola pertanian di era orde baru dan reformasi?
  • Apa saja kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah era orde baru dan reformasi dalam pembangunan pertanian?
  • Apa saja kelebihan dan kekurangan sistem pertanian dari masa ke masa?

1.3 Tujuan
        Adapun tujuan penulis mengupas masalah tentang Pembangunan Pertanian di Indonesia adalah untuk melatih penulis dalam pembuatan makalah dan membuka wawasan penulis tentang pembangunan pertanian di Indonesia dan betapa pentingnya pembangunan pertanian yang akan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan mayarakat dan pertumbuhan perekonomian Indonesia nantinya.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Kebijakan-kebijakan Pembangunan Pertanian Pada Masa Sebelum Kemerdekaan

a) Feodalisme dan Monopoli Perdagangan VOC
        Pada tahun 1453, dikuasainya Yunani dan Instambul (Constantinopel) dari Itali oleh bangsa Turki menyebabkan perubahan dalam lalu lintas perdagangan antara Asia dan Eropa. Hal tersebut juga didorong oleh beberapa negara Eropa yang ingin mencari terobosan baru dalam mencari jalan menuju Asia, yang kemudian diawali oleh bangsa Portugis. Meskipun pada awalnya motif mereka bukanlah motif ekonomi, yakni lebih didorong oleh semangat perang Salib, namun ketika berbagai barang baru seperti emas pasir dan binatang seperti kera, singa, burung nuri di Afrika pada tahun 1441, semakin mendorong mereka untuk menemukan jalan ke Asia melalui Afrika dengan motif ekonomi. Hingga pada tahun 1509 mereka untuk pertama kalinya datang di Indonesia.
        Atas dasar motif tersebut mereka cenderung menggunakan pendekatan militer untuk menguasai jalur-jalur perniagaan di Asia yang pada waktu itu berada diselat Malaka, teluk Persia dan laut Merah. Pada tahun 1511, Portugis berhasil menduduki kota Malaka dan Maluku. Dari sana mereka kemudian memperoleh hak monopoli atas cengkeh dan diperbolehkan mendirikan benteng. Kentalnya semangat perang salib, membuat Portugis dimusuhi oleh kerajaan-kerajaan Jawa yang pada waktu itu merupkan kerajaan muslim seperti Demak dan Djepara. Bahkan mereka beberapa kali sempat mengirim ekspedisi untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1530 dan berhasil dikalahkan oleh armada Portugis di Ambon.
Seabad setelah Portugis datang di Indonesia, bangsa Belanda sampai diAsia. Kekalahan Portugis pada tahun 1580 dalam ”Perang Delapan Puluh Tahun”, menyebabkan perdagangan Belanda dilarang disana. Hal itu yang kemudian mendorong Belanda untuk mencari sendiri jalan ke Asia. Pada tahun 1589, untuk pertama kali mereka berlabuh di Banten. Berbeda dengan Portugis yang masih sangat kental akan motif-motif abad pertengahan yang mengedepankan semangat religi, Belanda datang di Indonesia dengan motif murni perniagaanya, hingga pada tahun 1602 didirikan VOC (Verenigde Ost-Indische Compagnie) yakni gabungan kongsi-kongsi yang berlayar ke Indonesia.
        Pada mulanya, dalam menghadapi kegiatan perdagangan di Indonesia, VOC mengambil sikap menyesuaikan diri dengan pola dan sistem perdagangan yang berlaku. Namun, karena tujuannya kemudian hendak merebut kekuasaan perdagangan di Indonesia dan Asia, maka VOC berusaha merebut monopoli perdagangan dari para raja atau pedagang pribumi. Dalam usahanya menguasai jalur perdagangan di Indonesia, hal tersebut dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu melalui upaya penaklukan dengan kekuasaan, melalui kontrak monopoli dan melakukan persetujuan atas perdagangan bebas. Orientasi yang yang selalu mengikuti pasaran Eropa membuat langkah-langkah yang diambil oleh VOC di Indonesia selalu berubah-ubah, akibatnya hal tersebut selalu merugikan pihak pribumi yang harus berganti-gantian menanam dan menyiapkan komoditi perdagangan VOC.
        Karena beban yang sangat memberatkan seperti pajak, cukai, penyerahan hasil, kerja rodi, beban tanah partikelir dan lain-lain, rakyat yang tinggal dalam wilayah partikelir hidup sangat miskin dan menderita. Tidak jarang terjadi rakyat ”mencuri” padi dari sawahnya sendiri sekedar untuk meringankan pajak atau terpaksa merampok dan membunuh karena dorongan membela diri dan mengatasi rasa lapar.
Hingga tahun 1677, keberadaan Belanda di Jawa membuat mereka mendapatkan suplai beras (yang tetap merupakan hasil eksport yang terpenting) dengan pembelian yang biasa. Sebagai upah atas bantuan militer dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan, maka pada tahun itu Kerajaan Mataram memberikan VOC monopoli untuk mengimpor barang tekstil dan candu, monopoli untuk mengekspor gula dari Semarang dan Jepara, hak beli utama bagi beras serta hak menguasai dan menerima pendapatan dari pelabuhan-pelabuhan pantai Utara. Bahkan pada tahun 1755, Sultan Mataram menyerahkan Mataram kepada Belanda, yang dengan demikian menjadi tuan tanah (leenheer) Mataram.
        Pada abad ke-18, Inggris mulai muncul dalam perairan Asia sebagai pesaing utama Belanda. Dengan kekuatan maritim yang yang kuat perlahan Inggris mulai menggeser dominasi Belanda di perairan Indonesia bahkan di Asia. Setelah tahun 1700 sebagian besar perdagangan luar negeri Belanda runtuh, sedangkan daerah-daerah kekuasaannya di Asia hilang. Di India ia terdesak oleh Inggris dan Perancis yang kekuatannya bertambah.
        Setelah tahun 1750 berakhirlah kebesaran Belanda. Dalam tahun 1784, setelah berperang dan mengalami kekalahan melawan Inggris, Belanda mengizinkan Inggris kebebasan berlayar di Indonesia. Kondisi tersebut membuat pemerintahan Belanda semakin memburuk, yang kemudian ditambah lagi dengan adanya korupsi yang merajalela diantara pegawai-pegawainya. Akhirnya pada tahun 1798, VOC dibubarkan.
b). Era Kolonialisasi Tanah dan Pertanian
        Peperangan Eropa yang menyertai perebutan kekuasaan terus menerus yang kemudian mengantar perwira militer altileri, Napoleon Bonaparte dalam kedudukan puncak pasca revolusi Perancis. Hal tersebut kemudian berbuntut dengan runtuhnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Berturut-turut kemudian Willem Daendels dan Jan Willem Janssens sebagai penguasa Hindia Belanda mewakili Napoleon Bonaparte (1808-1811).
        Kedudukan Perancis di Hindia Belanda kemudian digantikan oleh Inggris dengan Sir Stamford Raffles (1811-1816) sebagai Letnan Jendral di Jawa. Pada masa pemerintahan Raffles, mereka kemudian menerapkan kebijakan baru dalam sektor Agraria yakni melalui kebijakan Stelsel Tanah / pajak tanah (1813-1830). Semangat kebebasan yang diilhami oleh semangat revolusi Perancis yakni, “kebebasan, persamaan dan persaudaraan“, telah mengilhami pendapat-pendapat ketatanegaraan Raffles dalam kepemimpinannya di Jawa. Menurutnya kebebasan bertentangan dengan monopoli dan paksaan.
Raffles menerapkan sistem pajak tanah yang mengharuskan masyarakat untuk membayar pajak atas tanah yang dimilikinya. Suatu sistem lain yang dioperasikan pada masa itu adalah sistem sewa tanah. Dua sistem ini dijalankan sebagai bentuk politik pemerintah kolonial Inggris. Walaupun politik baru tersebut diarahkan kepada kemakmuran massa, tetapi hal ini hanya sebagai jalan (alat) dan bukannya tujuan itu sendiri.         
        Kepentingan rakyat diperhatikan, karena hal itu sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial, tujuan utamanya tetap mendapatkan barang-barang untuk ekspor. Kepastian hukum dan kebebasan orang dan benda; sedangkan labanya harus terdiri dari ekspor yang diselenggarakan (diorganisir) oleh partikelir.
Tapi, dilihat dari hasilnya, sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Tujuannya untuk menimbulkan kemakmuran rakyat dan memajukan ekspor tidak terwujud. Oleh karenanya pasca kepemimpinan Raffles di Hindia Belanda, Gubernur Jendral Van Der Capellen berusaha melindungi tanah-tanah milik rakyat dari tangan-tangan orang eropa. Baginya penyerahan tanah kepada orang-orang Eropa berarti penyerahan daerah dengan penduduknya, sebagaimana tanah partikelir. Menurutnya campur tangan orang-orang eropa dalam pertanian kecuali bagi gula dan nila yang tidak penting itu hanyalah “een vijfde rad aan de wagen“ (tak berguna dan merintangi atau memusnahkan) atau merupakan parasiet plant (tumbuhan benalu) yang akan merintangi penduduk dan pertumbuhannya.
        Ketika Van Den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, negeri itu sedang mengalami kesulitan keuangan, baik karena peperangan dalam rangka meluaskan jajahannya di Indonesia maupu peperangan dengan Belgia. Hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi Van Den Bosch untuk menerapkan kebijakan tanam paksa / culturstelsel (1830-1870) di Hindia Belanda.
        Dengan adanya kebijakan culturstelsel ini maka rakyat juga harus menanam tanaman-tanaman ekspor diatas tanah pertanian, sebagai upah atas penanaman itu tidaklah diberikan uang tetapi pembebasan dari kewajiban membayar pajak tanah yang sangat berat itu. Menurut Van Den Bosch pajak ”in natura” ini lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa daripada pajak dalam bentuk uang yang menyebabkan rakyat terpaksa menjual barang-barang hasilnya sehingga mudah disesatkan atau tertipu. Karena culturstelsel sangat sesuai sekali dengan perkembangan pergaulan hidup Jawa pada waktu itu, maka tujuan stelsel itu yang semata-mata untuk mempertinggi produksi ekspor, tercapai seluruhnya, walaupun dalam permulaannya menghadapi kesulitan-kesulitan.
        Suatu bahaya kelaparan di Jawa Tengah pada tahun 1849-1850 membuka mata umum di negeri Belanda tentang keadaan-keadaan di Jawa, yang mana bencana tersebut disebabakan oleh tanam paksa. Akibatnya, hal diatas mendatangkan kecaman yang keras dari golongan liberal terhadap golongan konservatif di Parlemen Belanda. Kecaman itu disertai bukti-bukti bahwa terjadi proses kemiskinan didaerah jajahan.
        Hal ini berarti pula berubahnya politik kolonial yang dijalankan antara 1850 dan 1860 ; tekanan penanaman paksa diperingan, dan stelsel tanam paksa diserang dengan hebat. Aliran baru menuntut kebebasan pengusaha-pengusaha partikelir untuk mengusahakan pertanian ekspor, dan untuk hal itu menuntut pula dihapuskannya stelsel tanam paksa. .
c). Masa Pendudukan Jepang 1942-1945
        Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Belanda takluk kepada Heitesan Dai Nippon Tei Koku (serdadu kerajaan Jepang Raya), Tanah Jawa berada dibawah pendudukan Rikugun (Angkatan Darat Jepang). Tujuan penyerbuan Jepang di Indonesia adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi. Politik agraria pada zaman penguasaan Jepang dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang dalam menghadapi Sekutu. Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi “perang“ Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru, perluasan areal pertanian dan penanaman komoditas baru seperti kapas, yute-rosela dan rami.
Masa pendudukan Jepang ditandai oleh mobilisasi penduduk penduduk pedesaan melalui organisasi-organisasi “fasis“, yang bertujuan untuk mobilisasi dan kontrol. Kebijakan mobilisasi ini selalu dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah pendudukan Jepang. Seluruh kegiatan ekonomi-produksi, sirkulasi dan distribusi, secara ketat dikontrol melaui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah.
Akibatnya adalah sebuah bentuk eksploitasi secara besar-besaran, yang tentunya menghasilkan sebuah penderitaan yang begitu mendalam oleh petani, seperti kesaksian Sidik Kertapati (1965):
 “...dibawah kekuasaan fasisme ini kaum tani sangat menderita. Mereka dipaksa menyetor sebagian  besar hasil panen padi dan ternaknya kepada Jepang dengan harga yang sangat rendah. Lembu dan kambing “dikintal”, artinya dibayar dengan jauh dibawah harga. Sering terjadi setoran paksa ini tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan pembagian celana bagor, atau bahkan dibayar dengan makian “genzjumin bagero” (orang pribumi yang bodoh)! Yang sangat menghina, tapi disukai oleh bibir orang-orang Jepang. Telor, ayam, kambing, dan segala macam yang hidup dan dapat dimakan, tak terkecuali harus diserahkan kepada Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan perangnya, Jepang melalui aparat pangreh praja (sekarang pamong praja) mengerahkan rakyat untuk mencari Iles-iles di hutan-hutan dan menanam Jarak, kemudian disetorkan ke Jepang. Mereka yang tidak memiliki sawah atau ladang diharuskan menanam di pekarangan rumahnya masing-masing. Barangsiapa yang berani menentang dan dianggap “melanggar” perintah bisa ditangkap Kempeitai (Polisi Militer Jepang) yang sewaktu-waktu siap menjadi algojo...”.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berakhir seiring dengan dijatuhkannya bom atom di kota Nagasaki dan Hirosima oleh pasukan Sekutu (Allied Forces) pada tahun 1945, yang kemudian menyebabkan kerajaan Jepang menyerah tanpa syarat oleh pasukan sekutu.

2.2 Kebijakan - Kebijakan Pembangunan Pertanian Pada Masa Pasca Kemerdekaan (Pemerintahan Soekarno, 1945 - 1966 )
        Setelah Proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah negara Indonesia dihadapkan pada persoalan masih kentalnya struktur warisan kolonial, seperti masih beroperasinya perusahaan-perusahaan asing multinasional raksasa di bidang perkebunan dan pertambangan serta hancurnya tatanan mode produksi masyarakat Indonesia.
        Pemerintah justru lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947; dan baru terealisir pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Namun, karena keterbatasan dana, sistem penyuluhan tersebut tidak dapat berjalan, yang berakibat pada kecilnya kenaikan produksi padi. Hal tersebut kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor beras, dari 334.000 ton ditahun 1950 menjadi 800.000 ton ditahun 1959.
        Selanjutnya dimulailah Rencana Tiga Tahun Produksi Padi tahun 1959-1961 dengan target mencapai swasembada pangan pada tahun 1961. Untuk itu kemudian dibentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung diketuai oleh presiden Soekarno. Untuk memperbaiki sarana pertanian, dibentuklah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Ditingkat desa, dibentuk Pamong Tani Desa (PTD) yang bertugas membantu kepala desa mencapai swasembada beras. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan ini memiliki dua anak perusahaan yakni, padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan; sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis terutama diluar pulau Jawa.
Sejak tahun 1960-an mulai diadakan inisiatif perubahan dari “bawah”, khususnya lewat keaktifan dari kaum tani kecil dan buruh tani. Di tahun itu, dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur program pembaruan agraria, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mo. 5 tahun 1960 yang mengatur tentang landreform, Undang-Undang no. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) no. 2 tahun 1960 yang mengatur sistem bagi hasil.
Dengan ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang menyangkut hukum agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu adalah Agrarische Wet (S. 1870-55), Domein-verklaring, Algemene Domeinverlklaring, Koninklij Besluit serta buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya mengenai bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan Hypotheek.
         Pada tahun 1963/1964 dicetuskanlah Swa Sembada Bahan Makan (SSBM) dengan memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, yang kemudian berwujud dalam penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi juga sebagai pusat bimbingan untuk Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA), yang kemudian dikenal dengan nama DEMAS (Demonstrasi Massal). Program ini dianggap berhasil karena hasilnya sangat baik, sehingga arealnya diperluas 15 kali lipat pada bulan Juli 1965. Pada tanggal 10 Agustus 1965 nama DEMAS diganti dengan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan luas areal 150.000 hektar di Jawa dan diluar Jawa.
         Namun September 1965 terjadi huru-hara G30S PKI yang menghancurkan seluruh bangunan pertanian nasional yang coba ditata oleh pemerintah Orde Lama. Hal tersebut ditandai dengan konflik politik yang kuat antara militer khususnya Angkatan Darat, dengan gerakan kiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun pada awalnya Soekarno mampu meredam terjadinya konfrontasi secara terbuka dari kedua belak pihak, namun peristiwa G 30 S PKI memicu perubahan konstelasi politik secara drastis. Yang kemudian akibatnya adalah: Pertama, terkonsolidasinya kekuatan anti PKI yang dimotori oleh militer serta partai-parta Islam. Kedua, gelombang demonstrasi terus-menerus, dengan ujung tombaknya pada tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang isinya antara lain: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bubarkan kabinet Dwikora 100 mentri. Ketiga, penghancuran PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Naiknya Soeharto kepucuk pimpinan di Indonesia, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam arah pembangunan pertanian serta agraria di Indonesia. Warisan-warisan kolonial yang sebelumnya coba ditata ulang oleh Orde Lama, dihancur leburkan oleh kebijakan baru Orde Baru yang sangat berorientasi ke barat-baratan serta dikomuniskannya kebjiakan-kebijakan agraria yang pernah digagas oleh Orde Baru Lama. Hal tersebut menandai kebijakan baru dengan orientasi baru atau yang nantinya kemudian dikenal dengan kebijakan Revolusi Hijau pada massa Orde Baru.

2.3 Kebijakan-Kebijakan Pembangunan Pertanian pada masa Orde Baru Sampai Reformasi   
         Perbedaan Pola Pertanian di Era Orde Baru dan Reformasi Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
    Pada pertanian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari tanaman dan hewan. Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertnian yang lebih baik pula. Seperti era orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia juga akan berubah.
    Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis. Pada masa orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal ( cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman penghasi bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
    Selain itu, juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagi bagian dari teknologi modern pada masa orde baru.
    Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkn sehinnga padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
    Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
    Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut

1.      Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru
a.       REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja, tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian.
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
b.      Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi penemuan ilmiahberupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang membuat hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang.

Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
  Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat
  Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
  Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.

c.       Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.

d.      BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal (BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI).

2.      Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
a.       SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan pdi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya “More Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan ( yang identik dengan perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
    SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
    Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendaptan petani.
    Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
    Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi.
    Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).

Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
    Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
    Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
    SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
    Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.

Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.

b.      Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut :
    Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
    Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
    Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
    Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
    Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
    Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan melakukan beberapa kebijakan seperti REPELITA, Revolusi Hijau, BIMAS, INMAS, INSUS, dan Panca Usaha Pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan
    Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.

Paling Dilihat

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Label